ilustrasi tentara
Pembunuhan massal yang dilakukan tentara Jepang berawal dari sebuah desas-desus yang terdengar oleh pihak Jepang. Semua karena sebuah kecurigaan dimana Tokkeitai (Polisi Rahasia Kaigun) mencium adanya suatu persekongkolan untuk melawan Jepang.
Tentunya upaya perlawanan ini berangkat dari kondisi kehidupan yang kian susah dan perlakuan kejam Jepang terhadap rakyat.
Berdasarkan informasi yang beredar pada April 1942, Sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Kadri mengundang seluruh kepala swapraja, dalam hal ini Sultan dan Panembahan di seluruh Kalimantan Barat ke Keraton Kadriyah.
Inti dari undangan ini sebenarnya membicarakan kondisi kehidupan terkini. Secara bulat para pemimpin kesultanan ini akhirnya satu pendapat bahwa satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan rakyat itu ialah dengan mengenyahkan Jepang.
Jepang kemudian mendirikan Nissinkai, semacam organisasi politik yang mendapatkan restu dari Syuutizityo Minseibu Izumi dan Letnan Kolonel Yamakawa.
Organisasi ini sebagai satu- satunya wadah yang legal menurut Jepang untuk menyalurkan ide-ide politis yang tentu saja harus sejalan dengan kepentingan mereka.
Akan tetapi sekuat apapun Jepang mencoba menyetir organisasi ini agar menjadi pendukung mereka, namun di dalamnya justru berhimpun orang-orang yang mengidamkan kebebasan.
Dikemudian hari kelompok aristokrat yang ingin melawan Jepang sebagaimana disebutkan sebelumnya semakin besar dengan bergabungnya sejumlah tokoh-tokoh politik Nissinkai.
Orang-orang tersebut antara lain J.E Pattiasina (Kepala Urusan Umum Kantor Syuutizityo), Notosoedjono (tokoh Parindra), dan Ng Nyap Sun (Kepala Urusan Orang Asing/Kakyo Toseikatyo).
Karena gerakan ini bersifat rahasia dan bergerak secara bawah tanah, tidak ada yang mengetahui secara pasti apa nama kelompok perlawanan tersebut.
Pemimpin kelompok politik tersebut bahkan tidak diketahui secara pasti pemimpinnya. Kelompok rahasia ini lebih sering disebut Gerakan Enam Sembilan karena berjumlah enam puluh sembilan anggota.
Keenam puluh sembilan orang tersebut tidak pernah diketahui siapa saja orangnya, barangkali Jepang sendirilah yang menentukan nama-namanya. Masuk dalam daftar Jepang kala itu sama saja dengan masuk dalam daftar orang yang akan dicabut nyawanya. Suatu perlawanan akhirnya memang terjadi, namun bukan di Kalimantan Barat melainkan di Kalimantan Selatan.
Mantan Gubernur Borneo pada masa Belanda, Dr. Bauke Jan Haga diketahui melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan didukung ratusan pengikutnya, sebagian besar orang Belanda di Banjarmasin.
Sayangnya pemberontakan ini gagal, Jepang menjatuhkan hukuman mati kepada 25 pemimpinnya termasuk Gubernur Haga, ditambah tewasnya 250 orang-orang Belanda di interniran.
Komplotan Gubernur Haga tersebut direncanakan melaksanakan aksi pada Januari 1943 dengan dibantu 800 orang. Pemberontakan di Kalimantan Selatan dapat menjadi suatu inspirasi untuk melaksanakan hal serupa di Kalimantan Barat. Hal ini menjadi kekhawatiran besar bagi mereka.
Baca Juga:
- Ukraina Optimis Akhir Tahun Perang Lawan Rusia akan Berakhir
- Mengorek Luka Lama, Riset Perang Indonesia-Belanda dan Narasi Kejahatan Perang Pejuang Indonesia
- Asmara di Tengah Konflik: Kisah Cinta Para Pejuang di Masa Revolusi Fisik
Untuk itu Jepang memutuskan untuk melakukan langkah-langkah pencegahan. Secara bertahap mulai dilakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang dicurigai dari berbagai kalangan.
Pada 23 Oktober 1943, gelombang penangkapan dimulai dengan menahan penguasa swapraja, tokoh masyarakat, kaum cerdik pandai, dan menahannya di markas Tokkeitai.
Beberapa kerabat dan tokoh-tokoh lain juga ditangkap dan tidak pernah kembali.
Selanjutnya pada 24 Mei 1944 konferensi Nissinkai di Pontianak berubah menjadi ajang penangkapan akbar. Seluruh peserta yang hadir ditangkap, yang lainnya diciduk di rumah masing-masing pada dini hari.
Pada hari Sabtu 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 koran Borneo Shinbun dalam halaman depannya mewartakan dalam judul besarnya “Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akar-akarnya”.
Jepang mengumumkan telah melaksanakan aksi penangkapan dan menghukum mati mereka yang diduga berkomplot melawan dari tanggal 23 Oktober 1943 hingga 28 Juni 1944.
Kabar dari Koran Borneo Shinbun sangat mengejutkan warga khususnya di Pontianak. Akhirnya apa yang menjadi kegelisahan akan nasib sanak saudara, kerabat, maupun orang yang dicintai ketika dijemput Jepang terjawab sudah.
Tentu rasa keterkejutan itu berlanjut pada keguncangan perasaan bagi yang ditinggalkan, terpukul dan sedih. Selama ini keluarga atau kerabat korban tidak pernah mengetahui untuk apa mereka dibawa Jepang dan kapan mereka akan dikembalikan Jepang. Pertanyaan yang menggantung tersebut akhirnya terjawab sudah dengan keharuan.
Penangkapan ini rupanya hanya suatu isu yang dibuat oleh Jepang. Tuduhan bahwa adanya gerakan yang ingin melakukan perlawanan dan membentuk Republik Rakyat Borneo Barat hanyalah isu yang direkayasa oleh Jepang.
Pasalnya, sejak zaman penjajahan Belanda pun tidak pernah ada organisasi, partai, ataupun lainnya yang berkeinginan hendak mendirikan suatu Negara Borneo Barat.
Hal ini juga diamini oleh Tsuneo Iseki seorang Jepang yang telah menetap di Kalimantan Barat pada 1928 – 1947 dan dapat berbahasa Indonesia.
Tsuneo juga bertindak sebagai juru bahasa (penerjemah) dalam Mahkamah Militer Sekutu di Pontianak yang diselenggarakan pada rentang waktu tahun 1946-1947.
Menurutnya, sepanjang ia tinggal di Kalimantan Barat tidak pernah ada gerakan-gerakan untuk mendirikan Borneo Barat, juga pada masa Jepang tidak ada gerakan-gerakan untuk melawan.
Menghubung-hubungkan peristiwa di Banjarmasin pada Juni 1943 dengan keadaan di Pontianak adalah hal yang sengaja dibuat-buat.
Hayashi Shuichi, seorang Perwira Intelijen tentara Angkatan Laut Jepang di Kalimantan Barat juga bersaksi pasca perang bahwa tidak ada plot bersenjata untuk melawan Jepang sebagaimana dituduhkan oleh Tokkeitai.
Hal ini juga semakin didukung dengan tidak pernah diperiksanya para korban dalam sidang terbuka. Dalam Koran Borneo Shinbun para korban disebutkan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Angkatan Laut Jepang. Akan tetapi sidang itu sendiri tidak pernah dibuka untuk umum.
Kebenaran ini tidak pernah terungkap dengan jelas karena Jepang sendiri membunuh semua yang terlibat tanpa pernah diketahui bagaimana pembelaan para korban.
Apa yang tertulis dalam Borneo Shinbun seratus persen bukan produk jurnalistik melainkan sebuah karangan yang dibuat-buat oleh ketua redaksi yang tentu saja orang Jepang.
Meskipun informasi dalam koran itu tampak sekali meyakinkan, namun sepandai-pandainya ia mengarang tidak sulit menemukan beberapa hal yang ganjil.
Koran itu mengaburkan pengertian mengenai suku dan kebangsaan, penulisannya juga tidak hati-hati. Misalnya, korban bernama Nasrun Sutan Pangeran tetapi justru ditulis orang Batak bukan orang Minang.
Hal yang lebih menarik ialah korban dari kalangan suku Melayu ditulis “orang Indonesia”, di luar ditulis sesuai suku asalnya.
Ada lagi satu keganjilan dalam emberitaan di Borneo Shinbun itu, yakni soal Sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Kadri yang akhirnya ikut ke dalam komplotan (sebagaimana) yang dituduhkan Jepang dalam pendirian Negara Rakyat Borneo Barat.
Padahal,masih dalam berita itu juga komplotan berencana untuk membubarkan dua belas swapraja yang ada di Kalimantan Barat.
Tentulah hal ini bertolak belakang dengan kenyataan umum bahwa golongan aristokrat, raja, atau sultan semestinya menjadi pihak yang berseberangan dengan ide-ide pendirian negara berbentuk republik.
Seorang perwira NEFIS Belanda pasca kemerdekaan yang datang ke Kalimantan Barat untuk meneliti peristiwa ini, Kapten J.N, Heijbroek mengungkapkan; selain karena faktor kecurigaan terhadap adanya potensi perlawanan rakyat.
Jepang juga bermaksud untuk membunuh orang-orang penting dan mereka yang memiliki otoritas politik, keunggulan ekonomi, dan terpelajar sebagai hal yang sama dilakukan Jepang di Korea dan Manchuria.
Di tempat itu orang-orang dengan strata sosial atas juga dimusnahkan sehingga strata di sosial di bawahnya dapat di kontrol langsung oleh Jepang.
Peristiwa tanggal 28 Juni 1944 bukanlah akhir dari pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Jepang. Berdasarkan catatan-catatan sejarah, tanggal 28 Juni 1944, hanyalah suatu puncak gelombang pembunuhan yang setelahnya terus terjadi hingga mereka bertekuk lutut di hadapan sekutu.
Untuk mengenang peristiwa keji itu, setiap tanggal 28 Juni diperingati sebagai Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat dimana setiap instansi negeri atau swasta diwajibkan untuk mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.