kampung arab pekojan
Masyarakat Arab cukup banyak yang tinggal dan menetap di Nusantara. Orang-orang Arab menetap di kampung-kampung yang diberikan dari sebuah dampak terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda.
Kebijakan wijkenstelsel memberikan aturan yang menciptakan pemukiman orang-orang Arab di sejumlah kota pada masa Hindia Belanda. Mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal disembarang tempat pada masa tersebut. Dengan begitu, orang-orang Arab tidak bisa melakukan perjalanan jauh tanpa ada surat jalan dari pemerintah Kolonial.
Orang-orang Arab yang bermukim di kampung tersebut dinamakan sebuah kampung Pekojan. Hingga saat ini, kampung Pekojan menjadi kampung yang dihuni oleh orang-orang yang berketurunan Arab.
Kebanyakan orang-orang Arab dari Hadramaut di Indonesia yang tinggal di kampung Pekojan memiliki hubungan keturunan dengan nenek moyang yang berhasil sampai ke negeri tersebut. Istilah ‘nenek moyang’ tidak dipilih secara sembarangan.
Pertama, sebagian besar orang-orang Arab Hadramaut yang bermigrasi adalah laki-laki bujangan atau laki-laki yang meninggalkan keluarga mereka di Hadramaut dan menikah dengan penduduk setempat di negara tuan rumah mereka.
Kedua, kesamaan dengan sebagian besar masyarakat Timur Tengah, silsilah terutama dilacak melalui laki-laki. Oleh karena itu, keturunan seorang pria Hadramaut dan seorang wanita lokal Indonesia dapat dianggap sebagai Hadrami.
Menurut Frode F.Jacobsen dalam buku Hadrami Arab In Present-Day Indonesia, Di Indonesia dengan komunitas Arab yang cukup besar dan organisasi-organisasi Arab Hadramaut yang sangat berkembang, identifikasi yang dapat dilihat dengan masyarakat di tuan rumah sebenarnya sudah biasa di Hadramaut selama beberapa abad terakhir, berbeda dengan masyarakat Hadramaut yang tersebar di wilayah Hydrabad, India dan Sudan.
Eksistensi keberadaan masyarakat Arab di Indonesia telah membentuk komunitas Arab-Hadrami dari peranakan Arab Yaman mulai bermukim dan menempati wilayah-wilayah di Jawa terutama di Jakarta. Di Jakarta terdapat sebuah kampung Arab yaitu Kampung Pekojan.
Masyarakat Arab bermukim di kampung Pekojan yang selalu menghadirkan nuansa-nuansa keAraban dalam bentuk hubungan sosial, aktivitasnya bahkan hingga ke arsitekturnya.
Pada abad ke-18 dan hingga sampai saat ini kampung Pekojan masih ramai dan hidup berdampingan dengan penduduk Pribumi.
Awal mula Pekojan terdapat imigran-imigran dari India yang menetap di wilayah tersebut. Nama Pekojan berasal dari kata ‘Koja’ yang merupakan sebuah sebutan yang cukup popoler di kala itu menemui orang-orang India disana.
Tetapi karena kebijakan Pemerintahan Kolonial, akhirnya keturunan Arab yang menjadi mayoritas di Pekojan dan menggantikan orang-orang India yang dulu tinggal di Pekojan.
Baca Juga:
- Kedatangan Arab Hadhrami di Nusantara
- Masjid Sunan Ampel Surabaya, Wujud Perpaduan Islam dan Jawa
- Kampung Arab Al-Munawar, Kampung Arab-Palembang yang Tak Kalah dengan Surabaya
Kampung Pekojan adalah suatu kampung dengan hubungan sosial diantara pedagang Gujarat dengan masyarakat Indonesia yang memunculkan sebuah perkampungan yang disebut Pekojan.
Hingga saat ini, beberapa kota besar di Indonesia terdapat kampung Pekojan. Pekojan yang diartikan sebagai pendagang Gujarat. Sebagian dari pendagang tersebut menikah dengan wanita Indonesia dari putri-putri raja hingga bangsawan.
Oleh karena itu, banyak dari keluarga raja atau bangsawan yang masuk Islam dan kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada abad ke-18, Pekojan menjadi salah satu kawasan atau tempat tingga khusus bagi komunitas Arab dari keturunan India maupun keturunan Arab yang beragama Islam.
Dalam sistem yang dilakukan Pemerintahan Kolonial Belanda pada saat itu, memisahkan setiap orang berdasarkan suku dan etnis serta agama tertentu dengan membentuk kelompok pada saat itu.
Selain ingin lebih mudah mengatur suatu kawasan/wilayah dan untuk lebih mudah pula untuk dapat mendata jumlah penduduk baik yang sudah lama menetap ataupun pendatang yang baru di kawasan tersebut, maka dibentuklah kawasan-kawasan tersebut. Salah satunya kampung Pekojan sebagai kampung Arab di Batavia.
Alwi Shahab dalam Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang, Di Pekojan inilah Belanda memberlakukan sistem passen stelsel. Mereka yang tinggal di kawasan Pekojan bila hendak pergih ke daerah harus terlebih dahulu mendapatkan surat jalan dari Kapiten Arab di wilayah Pekojan.
Kampung Arab Pekojan masuk ke dalam bagian dari Distrik Penjagalan. Pada masa pemerintahan Belanda kelurahan Penjagalan berada di bawah Penjaringan Wijk, Onderdistn’ct Penjaringan dan District Batavia yang pada masa itu masih disebut Kampung Penjagalan.
Pada masa pendudukan Jepang, Kampung Penjagalan masuk Penjaringan Son, Kawedanan Jakarta Kota. Setelah Kemerdekaan sampai tahun 1967 Kampung Penjagalan masuk wilayah Kelurahan Penjagalan. Kec. Penjaringan, Jakarta Utara.
Tetapi, pemekaran kota, pada tahun 1967, wilayah Kelurahan Penjagalan dipecah menjad 2, yaitu sebagian masuk kedalam wilayah Kelurahan Pekojan, Kec. Tambora, dan Sebagian masuk wilayah Penjagalan Utara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Selama ini Arab berbagi tempat dengan Muslim asing lainnya. Di Batavia, tempat tinggal orang-orang Arab ini disebut Pekojan, setelah Koja atau Moor yang melebihi jumlah minoritas Muslim lainnya sampai pada awal abad ke-19.
Namun, setelah 1880, jumlah imigran Arab secara bertahap meningkat dan Pekojan akhirnya menjadi seperempat Arab. Pertumbuhan konstan komunitas Arab di Hindia terlihat dari pendirian tempat baru, penciptaan pangkat Jurumudi (wijkmeester), dan pengangkatan dan gaji pejabat seperempat.
Pada tahun 1873, Hindia Belanda memiliki 35 perempat untuk “Orang Asing Orang Asing Lain”, di antaranya orang Arab menjadi kelompok terbesar, 23 di Jawa dan 12 di Kepulauan Quter. Di hampir semua kota, perdagangan menjadi cukup penting bagi kawasan yang didirikan oleh orang-orang Arab.
Dan hingga abad ke-20, sebagian besar orang-orang Arab di Jakarta tinggal di kampung Pekojan dan seperempat orang-orang Moor, antara Ammanusgracht (sekarang jalan Bandengan Selatan) dan Bacherachtsgracht (sekarang jalan Pekojan).
Aktivitas Perdagangan dan Keagamaan Masyarakat Arab di Pekojan
Perdagangan menjadi salah satu upaya untuk membangun perekonomian masyarakat yang cendrung dalam kemerosotan.
Menurut pendapat Adam Smith terkait perdagangan, bahwa masyarakat terbelakang ditandai dengan mata pencarian berburu, sedangkan masyarakat di daerah maju ditandai dengan mata pencarian berdagang.
Pada periode masa-masa awal perdagangan dikuasai oleh masyarakat Arab yang disebut dengan masyarakat pemimpin. Keberhasilan yang dilakukan oleh pendagang-pendagang Arab terhadap negara-negara perdagangan ialah menciptakan perdagangan dengan metode keramahan dan kemuliaan hati.
Dengan keberhasilan tersebut masyarakat Arab dapat diterima dengan baik secara suka rela oleh kalangan pendagang di seluruh dunia.
Tepatnya Smith menulis: “Ketika mereka memasuki kota, mereka mengundang orang-orang dijalan, baik kaya maupun yang miskin untuk makan bersama dengan duduk bersila. Mereka memulai makan dengan mengucapkan bismillah dan mengakhirinya dengan ucapan hamdallah”.
Adapun dilihat dari aktivitas Perdagangan yang dilakukan oleh orangorang yang berketurunan Arab, cukup memiliki kontribusi besar dalam menjalin hubungan erat dengan pendagang-pendagang Cina, Betawi, Jawa, Batak dan lainnya.
Dalam hal ini cukup banyak toko-toko milik orang Arab di Batavia, sekitar tahun 1920. Barang yang mereka jual seperti terlihat di Tanah Abang seperti minyak wangi, madu, korma dan ma’jun. di depan sekali tampak hoga yang kala itu banyak juga terdapat di kediaman etnis Arab.
Para pendagang ini menggunakan jubah dan sorban serta peci putih. Orang Arab banyak berdatangan ke Nusantara terutama pada abad ke-19.
Mereka diharuskan untuk tinggal di perkampungan Arab, Pekojan dan Krukut, karena Belanda juga mengenakan passen stelsel terhadap mereka.
Bila mereka ingin berpergian ke daerah lain seperti Jatinegara, mereka diharuskan untuk menyiapkan surat jalan.
Kedatangan para imigran Arab dari Hadramaut ke Nusantara ini, selain untuk berdagang, mereka juga melakukan kegiatan keagamaan.
Dalam kegiatan keagamaan, terdapat masjid yang cukup terkenal disana yaitu masjid An-Nawier.
Pengaruh dari Masjid An-Nawier yang namanya berarti cahaya ada di Jalan Pekojan, Jakarta Barat, dan ditugaskan oleh seorang keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah putrinya yaitu Abdullah bin Hussein Alaydrus.
Sayyid Abdullah membangun masjid An-Nawier pada tahun 1760. Masjid ini juga menjadi salah satu pusat kampung Arab Pekojan dari segi keagamaan.
Masjid yang jauh dari jalan besar dengan keramaiannya menjadi ketertarikan tersendiri terhadap masyarakat Arab Pekojan maupun penduduk lokal disana untuk beribadah di masjid tersebut.
Dengan kata lain aktivitas keagamaan menjadikan unsur Islamiyah yang dipraktikkan oleh rakyat masyarakat Pekojan.
Maka dari itu, manfaat dari masjid tersebut bagi masyarakat di Pekojan maupun di luar Pekojan secara langsung juga ikut dalam aktivitas keutamaan shalat lima waktu, serta shalat jum’at dan doa khusus pada waktu akhir yang pada umumnya diajarkan didalam agama Islam.
Serta kegiatan keagamaan juga disampaikan oleh ulama-ulama yang ada di Pekojan maupun dari luar Pekojan dengan memberikan pidato dan khutbahnya.
Pada abad ke-20 migrasi orang-orang Arab dari Hadramaut ke Nusantara mulai cukup banyak dan menempati beberapa daerah-daerah yang sudah di tetapkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda.
Tidak heran jika di Pekojan, Krukut, Tanah Abang, Kwitang dan baru-baru ini wilayah Condet menjadi sentral perekonomian orang-orang berketurunan Arab yang senantiasa menjajakan dagangan mereka di depan toko-toko mereka. Kesukaaan mereka adalah makan daging kambing, juga memasok kebutuhan makanan seperti daging kambing.