ilustrasi kisah asmara
“Dari mana datangnja linta Dari sawah toeroen kepadi Dari mana datangnja tjinta Dari mata toeroen di hati”.
Diberlakukannya politik etis sejak awal abad ke-20 memberikan kesempatan kepada kaum Bumiputra untuk menikmati pendidikan modern. Tersedianya akses pendidikan menjadi pintu bagi sebagian elite pribumi untuk meraih kemajuan yang diperkenalkan oleh peradaban Barat.
Dibukanya sekolah-sekolah dengan sistem pendidikan Barat memungkinkan terjadinya pergaulan yang lebih bebas antara lelaki dan perempuan Bumiputra untuk bergaul secara akrab.
Hal itu juga kemudian menyebabkan semakin banyak tempat-tempat perkumpulan pemuda seperti tempat olah raga, kesenian, rekreasi dan lain-lain yang memungkinkan mereka untuk lebih sering berinteraksi.
Pendidikan modern membuat mereka bertemu dengan gagasan-gagasan baru, salah satunya kebebasan memilih pasangan hidup. Dalam kehidupan kaum bumiputra di periode sebelumnya, dominasi orang tua berperan sangat besar terhadap pilihan hidup anak-anaknya termasuk urusan jodoh.
Pergaulan antara lelaki dan perempuan juga sangatlah dibatasi, mereka hanya tinggal menunggu orang tua mencarikan suami atau istri.
Beriringan dengan terbentuknya gagasan persatuan meraih kemerdekaan, muncul pula hasrat dalam diri kaum muda terutama orang-orang yang sudah berpendidikan untuk mencari dan menemukan cinta mereka atas kehendak sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun termasuk orang tua.
Pada titik ini orang-orang pergerakan, sampai batas tertentu, melakukan perlawanan terhadap struktur sosial yang dominan pada masa itu. Fenomena tersebut banyak direkam oleh sumber-sumber sezaman.
Oleh karena itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana karya-karya sastra sezaman menangkap persoalan percintaan pada masa pergerakan nasional? Apa gagasan atau kritik yang ingin disuarakan oleh para pengarang itu? Bagaimana semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa turut memengaruhi idealisme tokoh-tokoh pergerakan nasional dalam mencari pasangan hidup?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah mendasarkan pemikiran kita pada pembacaan karya sastra sezaman baik dari terbitan Balai Pustaka misalnya novel-novel Abdoel Moeis yang berjudul Pertemuan Jodoh dan Salah Asuhan, novel Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, novel-novel Hamka seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, kemudian St. Takdir Alisjahbana dengan karyanya Layar Terkembang serta penulis-penulis lain yang hidup pada periode pergerakan nasional.
Selain itu juga dilakukan pembacaan atas karya-karya sastra terbitan non-Balai Pustaka seperti Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo dan Hikayat Kadiroen karangan Semaoen.
Suara penulis novel berbahasa Sunda yaitu Moh. Ambri yang menulis Lain Eta turut menambah keragaman pada penggunaan sumber karya sastra sezaman dalam penelitian ini.
Dari pembacaan terhadap karya sastra yang terbit pada masa pergerakan nasional dapat ditemukan gambaran kondisi sosial dan budaya pada masa itu, dari situ dapat dianalisis suara-suara para pengarang yang sering mencurahkan gagasan atau pun kritik mereka melalui media sastra.
Mereka mengangkat persoalan rasialisme, perlawanan terhadap adat, serta ketimpangan struktural yang menjadi permasalahan-permasalahan pada masa kolonial ke dalam karya sastra.
Atas dasar itu, karya-karya sastra sezaman dapat dijadikan salah satu sumber sejarah, sebab dari sana dapat ditemukan fakta mental.
Dilakukan juga pembacaan atas memoar dan autobiografi orang-orang yang hidup pada masa kebangkitan nasional, sehingga kesaksian tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti S.K. Trimurti, Soekarno, atau dr. Soetomo mengenai pengalaman cinta mereka serta pengamatan mereka terhadap kondisi masyarakat di masa itu bisa memberikan gambaran nyata kisah asmara saat itu.
Kemudian, berbagai artikel dari surat kabar Sin Po menjadi perwakilan dari suara kaum peranakan Tionghoa.
Terakhir, artikel dari surat kabar Doenia Bergerak menjadi pelengkap untuk suara Mas Marco Kartodikromo dalam dua media yang berbeda yaitu surat kabar dan karya sastra.
Ini menunjukkan bahwa pergerakan kebangsaan tidak hanya bekerja di bidang politik, tetapi juga memengaruhi ranah privat yaitu urusan percintaan, serta menunjukkan pula bahwa cinta mampu mendobrak batas-batas adat, kelas, ataupun ras.
Asal Mula Tumbuhnya Cinta
Bertemunya perempuan dan lelaki di sekolah modern tidaklah lazim bagi masyarakat tradisional yang terbiasa membangun benteng amat tinggi pada pergaulan dua jenis kelamin yang berbeda.
Kaum kolot mempercayai jika cinta akan tumbuh sendirinya setelah terikat perkawinan sehingga mereka tidak memerlukan pacaran atau bertunangan.
Mereka hanya perlu menerima apapun keadaan dan kepribadian dari pasangan yang dipilihkan oleh orang tua.
Baca Juga:
- Bertentangan dengan Hukum Islam, Ini Empat Sultan Wanita yang Pernah Memimpin Aceh
- Ernest Douwes Dekker, Bapak Nasionalisme Indonesia
- Siti Rohana Kudus: Nyala Kebangkitan Pergerakan Perempuan di Minangkabau
Pada awal abad ke-20, ketika modernitas semakin memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan, lahir pola-pola baru dalam mencari cinta.
Kaum pribumi di masa pergerakan mulai mendapat kesempatan untuk mengalami proses penemuan cinta dengan beragam cara; mereka bisa jatuh cinta sejak kali pertama bertemu dan bisa pula melalui proses pertemanan yang karib sampai akhirnya saling mencintai.
Tidak lagi sekadar dijodohkan oleh orang tua atau dipaksa kawin dengan pilihan orang tua. Berbagai macam karya sastra pada masa pergerakan nasional mengangkat tema cinta pada pandangan pertama.
Misalnya Swan Pen dalam novelnya yang berjudul Melati Van Agam membuka ceritanya dengan dengan sebuah pantun yang dapat menerangkan bahwa cinta bisa lahir hanya dari tatapan mata.
Kemudian seorang penulis peranakan Tionghoa bernama Thio Tjin Boen dalam novel Cerita Nyai Soemirah atawa Peruntungan Manusia Jilid 1 menggambarkan proses terlahirnya cinta pandangan pertama.
Thio Tjin Boen dalam novelnya itu mengatakan “Kalu dibilang orang punya mata ada punya kekuatan penarik”.
Kalimat tersebut merupakan pengantar dari cerita tokoh Soemirah dan Bi Liang yang tidak sengaja bertemu di sebuah hajatan seorang kopral oppas di Sumedang.
Sejak kedatangan Soemirah yang turut bergabung ke tengah-tengah para tamu, Bi Liang tidak mau melepaskan pandangannya pada Soemirah yang dinilainya sangat cantik.
Soemirah merasa gelisah karena sejak lama dia merasakan ada yang memperhatikan dirinya. Lalu gadis itu melayangkan pandangan ke sekitar, dari situlah Soemirah dan Bi Liang beradu tatap.
Pada generasi sebelumnya, mengirim surat percintaan dan mengajak perempuan untuk pelesiran tentu tidak mudah dilakukan sebab urusan jodoh menjadi otoritas orang tua, ruang bergaul antara perempuan dan lelaki masih sangat terbatas sehingga sulit bagi mereka untuk pacaran berdua-duaan.
Kalau kita cermati memanglah novel-novel pada masa pergerakan nasional banyak menampilkan tokoh-tokoh terpelajar yang tidak sungkan lagi melakukan pendekatan pada orang yang mereka suka.
Untuk berbalas-balasan surat dibutuhkan kemampuan menulis dan membaca, bangsa pribumi maupun Timur asing yang pernah menempuh sekolah modern akan memiliki akses untuk berbalas-balasan surat percintaan sebab mereka mampu menulis dan membaca bahkan pintar berbahasa Belanda.
Sekolah merupakan tempat mutasi pola pikir dan perilaku menuju modernitas bagi orang-orang pribumi yang berusaha menyelami cara berpikir Barat, terutama golongan priyayi dan kalangan atas karena merekalah yang pertama kali mendapat kesempatan belajar di sekolah-sekolah modern kemudian menyebar ke semua kalangan pribumi.
Dengan dibukanya sekolah-sekolah bagi pribumi maka antara perempuan dan lelaki mulai bisa bercampur gaul secara akrab dan bebas, kesempatan untuk menemukan pasangan tanpa otoritas orang tua ataupun keluarga menjadi lebih terbuka.
Selain cinta pada pandangan pertama, cinta terlahir pula dari sebuah persahabatan. Sepasang manusia bisa saling tertarik satu sama lain ketika kedekatan di antara keduanya semakin rapat, setelah bergaul cukup lama mereka mampu memahami karakter masing-masing.
Misalnya, seorang sahabat yang pada awalnya hanya teman berdebat atau bertukar pikiran dapat bertransformasi menjadi sepasang kekasih bahkan teman hidup.
Semuanya berawal dari rasa hormat dan kekaguman atas pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh kawan debatnya.
Kasus ini dialami oleh Surastri Karma Trimurti dan Sayuti Melik yang keduanya merupakan tokoh pergerakan nasional. Percintaan antara S.K. Trimurti dan Sayuti Melik terjalin dengan tidak diduga-duga oleh mereka.
Sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh S.K. Trimurti kalau teman berdebatnya akan menjadi pasangan hidup. Mereka sering terlibat diskusi mengenai siasat perjuangan dan menghadapi perdebatan sengit karena pandangan mereka tidak selalu sama.
Ajakan menikah keluar begitu saja dari mulut Sayuti saat mereka berdebat soal politik, lelaki itu berkata “Kelihatannya kita bisa bekerja sama. Bagaimana kalau kau menjadi istri saya?”.
Dari perkataan Sayuti Melik dapat kita lihat sosok pribumi terpelajar yang tidak bersikap patriarki, alih-alih melarang pasangannya berhenti bekerja ataupun merasa tersaingi dengan kesibukan perempuan di dunia pergerakan justru Sayuti Melik menginginkan pasangannya bisa bergerak bersama melalui jalur politik.
Meskipun S.K. Trimurti sangat terkejut dengan lamaran yang spontan keluar dari mulut Sayuti Melik, pada akhirnya dia menerima lamaran tersebut karena sosok seperti Sayuti merupakan pasangan yang dia idam-idam sejak lama.
S.K. Trimurti ingin sekali menikah dengan lelaki yang mampu berjuang bersama dalam pergerakan bumiputra, sehingga tidak sulit bagi keduanya untuk saling memahami mimpi masing-masing.
S.K Trimurti dan Sayuti Melik akhirnya menikah di Solo pada tahun 1938. S.K. Trimurti menyadari bahwa tujuan hidupnya semata-mata hanya untuk pergerakan kebangsaan sehingga ketika dia menemukan sahabat yang cocok dari segi semangat perjuangan, dia dengan mudah menerima lamaran lelaki tersebut.
Bersama pasangan yang pikiran dan cita-citanya selaras tentu lebih memudahkan seseorang untuk menempuh tujuan hidupnya, itulah pertimbangan-pertimbangan ketika memutuskan untuk mencintai sahabat sendiri.
Apa yang dialami oleh S.K. Trimurti mencerminkan realitas orang-orang pada masa pergerakan terutama tokoh-tokoh politik menjadi lebih idealis ketika memilih pasangan hidup, mereka menginginkan pasangan yang mampu mengiringinya menggapai cita-cita.
Kasus lain dari tokoh pergerakan nasional yang menemukan cintanya melalui proses pertemanan yaitu kisah cinta Soetomo dengan Everdina Broering.
Semua bermula ketika Everdina menjadi suster rumah sakit zending di Blora pada tahun 1917. Soetomo sebagai seorang dokter yang praktek di sana sering melihat Everdina menampakkan wajah murung. Dia memberanikan diri untuk bertanya soal kesedihan suster itu.
Kelembutan sikap Soetomo membuat Everdina mau menceritakan pengalaman hidupnya, ternyata perempuan itu telah kehilangan suami yang sangat dicintainya ketika masih tinggal di Belanda.
Benih-benih cinta tumbuh dalam persahabatan mereka karena Soetomo mampu menghibur kesedihan Everdina.
Setelah mereka memutuskan untuk menikah, Everdina berjanji akan selalu berada di samping Soetomo suka maupun duka.
Everdina bahkan melarang suaminya untuk mempersamakan hak-hak dengan orang Belanda karena dia memahami bahwa Soetomo mempunyai harapan besar untuk pergerakan bangsanya.
Sikap Everdina yang melarang suaminya melakukan gelijkstelling dengan bangsa Eropa memiliki makna bahwa Everdina tidak mau suaminya melanggar cita-cita perjuangan bumiputra untuk melawan kolonialisme.
Apabila Soetomo sampai mempersamakan hak-haknya dengan bangsa Eropa artinya sama saja dengan melanggengkan praktik rasialisme di Hindia Belanda.
Kisah cinta Soetomo dan Everdina menunjukkan bahwa percintaan yang dibangun atas persahabatan karib mampu meruntuhkan batas-batas rasial, dalam suasana perkawinan mereka telah tercipta kesetaraan antara satu ras dengan ras lainnya.