kesenian senjang
Sejarah kebudayaan Sumatera Selatan memiliki ciri khas yang unik dan tidak semua provinsi di Indonesia memiliki ciri-ciri tersebut.
Ciri budaya Sumatera Selatan dibangun selama berabad-abad, lapisan demi lapisan mulai dari lapisan kebudayaan Austronesia yang datang ke kawasan ini sejak lebih kurang dari 5000 tahun yang lalu.
Tradisi Autroneisa ini bertahan dan mampu menyesuaikan dengan kebudayaan-kebudayaan yang masuk ke seluruh daerah yang ada di Sumatera Selatan dan juga seiring perkembangan zaman maka kebudayaan tersebut kelak akan menjadi kebudayaan Melayu Sumatera Selatan.
Sumatera Selatan di ibaratkan pot raksasa tempat munculnya beragam kebudayaan sehingga menghasilkan kebudayaan muda yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri.
Faktor lingkungan memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan kebudayaan campuran tersebut. Bentang alam berupa laut, rawa-rawa, sungai, dan daratan rendah dan perbukitan membentuk ciri khas sub-sub kebudayaan Melayu Sumatera Selatan.
Kebudayaan Sumatera Selatan yang juga dikenal dengan kebudayaan Batanghari Sembilan karena masyarakat pendukungnya yang hidup dan berkembang di daerah sepanjang aliran sungai Musi dan anak sungainya.
Kebudayaan Sumatera Selatan mampu bertahan di tengah gempuran kebudayaan asing yang mulai masuk dan berkembang seperti sekarang ini.
Maka banyak kebudayaan asli pada akhirnya mulai tergerus dan terancam keberadaannya sebagai akibat kurangnya minat generasi muda untuk melestarikan kebudayaan asli yang ada di daerah Sumatera Selatan.
Senjang sebagai salah satu warisan budaya tak benda masyarakat Musi Banyuasin yang hadir sebagai salah satu hasil dari kebudayaan nenek moyang masyarakat pada zaman dahulu.
Senjang hadir sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang ada di masyarakat, berupa hasil dari kebudayaan masyarakat Melayu Sumatera Selatan yang ada di daerah Musi Banyuasin. Dan juga disebut sebagai salah satu dari tradisi masyarakat Batanghari Sembilan. Mengingat kabupaten Musi Banyuasin di lintasi oleh sungai Musi.
Sungai berfungsi sebagai tempat perdagangan dan perniagaan ini memiliki arti dan posisi strategis dalam membesarkan kebudayaan Musi Banyuasin.
Melalui fungsi ini, dapat dilihat bagaimana kebudayaan Musi Banyuasin adalah kebudayaan yang terbuka terhadap pertukaran dan penyerapan budaya dari daerah lain.
Melalui perdagangan juga, maka masyarakat Musi Banyuasin membiasakan diri menjadi komunitas yang terbuka, toleran, dan memuliakan tamunya.
Senjang tidak hanya menggambarkan kondisi geografis, flora, dan fauna yang ada di kabupaten tersebut tetapi juga menjelaskan berbagai penguasaan teknologi membuat perangkap ikan, seperti membuat rawai, bubu.
Selain itu, pemukiman seperti bentuk pemukiman pada lingkungan sungai yang mengikuti alur sungai dan bentuk-bentuk rumah selalu menghadap ke sungai yang disebut rumah rakit adalah pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Musi Banyuasin.
Penyampaian Senjang Pada awalnya senjang di sampaikan di balai-balai desa setempat dan musik pengiringnya pun menggunakan kenong karena belum adanya musik pengiring senjang, setelah itu barulah seiring perkembangan zaman pada masa kolonial Belanda senjang disampaikan memakai alat musik.
Alat musik yang digunakan pertama kali untuk mengiring seni senjang adalah Tanjidor. Tanjidor alat musik yang berkembang luas di masyarakat Sumatera Selatan ketika Belanda dapat memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke pedalaman Sumatera Selatan.
Pada saat Kesultanan Palembang Darussalam sedang berperang melawan Belanda yang dikenal dengan perang Menteng.
Perang ini berakhir pada tahun 1821 yang dimenangkan oleh pihak Belanda yang ditandai dengan ditangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan diasingkan ke Ternate hingga akhir hayatnya.
Budaya Eropa yang masuk seiring masuknya bangsa Belanda ke Sumatera Selatan ditandainya dengan percampuran kebudayaan Nusantara dengan kebudayaan Eropa yang sering dikenal dengan kebudayaan Indies.
Setelah menguasai Sumatera Selatan Belanda membagi daerah tersebut menjadi Iliran dan Uluan dan sebagai pusat pemerintahan berpusat di Palembang.
Baca Juga:
- Kesenian Ketoprak, Dulunya Hiburan Tani
- Lais, Kesenian Tradisional Ekstrem Garut yang Bikin Jantung Berdebar
- Seni Reog: Dilarang Semasa Penjajahan, Jadi Alat Politik Setelah Merdeka
Daerah Iliran disebut sebagai daerah yang berada di kawasan delta sungai Musi dan daerah Uluan disebut sebagai daerah yang berada di pedalaman atau daerah luar Keresidenan Palembang.
Selanjutnya pemerintah kolonial Belanda membagi Palembang menjadi dua daerah yang disebut Afdeeling, dan daerah yang berada secara langsung dibawah pengawasan Belanda mengakui secara langsung pemerintahan Belanda.
Pada saat itu pemerintah Belanda membentuk sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh seorang residen yang berkedudukan di Palembang.
Sedangkan di pedalaman Sumatera Selatan Belanda mengangkat Controleur sebagai pendamping divisi.
Wilayah pemerintahan Karesidenan Palembang, kemudian dibagi menjadi tiga Afdeeling dan Onder-Afdeeling yang meliputi: Afdeeling Palembangsche Bendenladen Palembang Ilir dan Afdeeling Palembangsche Bovenlanden Palembang Ulu.
Afdeeling Palembangsche Afdeeling Bendenlanden Palembang Ilir dengan Asisten Residen berkedudukan di Palembang yang membawahi beberapa Onder-Afdeeling yaitu: Palembang, Ogan Ilir Komering Ilir, Banyuasin, Musi Ilir dan Rawas.
Afdeeling Palembangsche Bovenlanden Palembang Ulu dengan Asisten Residen berkedudukan di Lahat yang membawahi beberapa Onder- Afdeeling yaitu: Lematang Ulu, Lematang Ilir, Tanah Pasemah, Tebing Tinggi dan Musi Ulu.
Ogan dan Komering Ulu, dibawah Asisten Residen yang berkedudukan di Baturaja yang membawahi Onder-Afdeeling yaitu: Ogan Ulu, Muara Dua, dan Komering Ulu.
Ketika Sekayu menjadi Onder- Afdeeling dari Afdeeling Palembangsche Bendenladen, maka seluruh adat dan budaya masyarakat Sekayu pun sebagian bercampur dengan kebudayaan orang Eropa.
Percampuran itulah menyebabkan dari segi alat musik pengiring senjang pun mengalami perubahan dahulu sebelum Belanda masuk ke Sumatera Selatan.
Senjang di sampaikan dengan cara tidak memakai alat musik melainkan disampaikan secara sederhana barulah ketika masuknya kekuasaan Belanda di Onder-Afdeeling Musi Hilir barulah senjang disampaikan memakai musik pengiring Tanjidor.
Selain disampaikan di dalam acara pernikahan senjang disampaikan dalam acara resmi seperti acara khitanan dan acara pemerintahan dalam menyambut tamu.
Pelakon senjang ingin menunjukkan kepada khalayak yang mendengar bahwa mereka punya budaya lama yang bernama senjang.
Bersenjang agar hati bisa terhibur. Tapi pelakon senjang menyadari jika budaya lama terancam. Globalisasi membuat budaya lama perlahan (begoyo) hilang.
Namun demikian, pelakon senjang berusaha optimis karena masih berusia muda masih ada kesempatan untuk mempertahankan tradisi ini, apalagi dengan diadakannya festival randik atau festival tradisi makin ada harapan agar budaya lama tidak akan terendam.
Senjang disampaikan sebagai informasi dan pesan pada acara pernikahan agar nanti perkawinannya berjalan langgeng dan tidak akan ada masalah yang timbul di kemudian hari nanti.
Senjang bukan hanya disampaikan acara pernikahan saja tetapi juga disampaikan dalam acara perpisahan sekolah, acara penyambutan tamu penting dan juga acara lainnya.
Senjang sebagai budaya lama dan milik Musi Banyuasin terus menerus disuarakan, tidak hanya dalam acara perkawinan semata-mata tetapi juga dalam acara-acara festival.
Bahasa yang digunakan dalam bersenjang memakai bahasa Musi. Bahasa Musi digunakan sebagai salah satu bahasa yang digunakan sebagai bersenjang, penyampaian senjang yang salah dapat menyebabkan arti dan pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan ini senjang.
Senjang berbentuk seperti pantun yang terdiri dari 4 sampiran dan juga ter diri dari 4 sisi dan juga ada yang 8 sampiran dan 8 sisi.
Ada juga yang 10 sampiran dan juga 10 isi dan juga senjang memiliki nada penyampaian yang berbeda misalkan senjang sungai Keruh dan senjang Babat Toman senjang sungai Keruh.
Perbedaan senjang sungai Keruh berbeda dengan senjang Sekayu senjang sungai Keruh lebih cenderung bahasanya yang berbeda dari bahasa Sekayu justru juga senjang Sanga Desa berbeda juga dengan senjang sungai Keruh perbedaannya ialah dari segi logat bahasannya saja tetapi mengandung arti yang sama.