bayi yang hendak disunat
Secara historis, upacara adat Mongubingo tidak dapat dilepaskan dari sejarah islamisasi di Gorontalo. Hassanudin & Basri Amin dalam buku Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial, menuliskan bahwa proses islamisasi Gorontalo dimulai ketika tokoh elite politik yaitu Raja Amai dari Kerajaan Gorontalo melakukan pernikahan dengan Putri Owutango dari Kerajaan Palasa.
Raja Amai beserta istrinya dan didampingi 8 raja-raja kecil di bawah vasal Palasa yaitu Tamalate, Lemboo, Sitendeng, Hulangato, Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo membimbing masyarakat serta merancang adat istiadat yang berpedoman pada Islam.
Pada tahun 1530 agama Islam secara resmi menjadi agama kerajaan dan mengatur adat istiadat dengan memasukkan pengaruh Islam didalamnya. Di dalam kerajaan mulai ditetapkan tentang pentingnya adat istiadat disesuaikan dengan syariat Islam.
Hasil rumusan ini dikenal dengan prinsip “saraa topa-topango to adati” artinya “syarah bertumpu pada adat”. Proses Islamisasi di Gorontalo semakin meluas dan terstrukturisasi.
Hal ini terbukti setelah diberlakukannya suatu pengembangan prinsip hukum adat yang berbunyi:“Aadati hulahulaa to saraa; saraa hulahulaa to adati” (adat bersendi syara, syara bersendi adat).
Upacara adat Mongubingo merupakan salah satu peninggalan berlakunya adat menggunakan dasar ajaran Islam di Gorontalo.
Hal ini dilakukan sebagai salah satu upacara rangkaian kehidupan pada masyarakat suku Gorontalo yang berupa serangkaian prosesi adat khitan bagi anak perempuan yang menginjakkan usia 1-3 tahun.
Upacara ini terdiri atas prosesi lihu lo limo (prosesi khitan anak perempuan), mo polihu lo limu (mandi lemon), dan mopohuta’a to pinggae (injak piring).
Makna filosofis upacara adat Mongubingo pertama yakni dalam prosesi momonto dan lihu lo limu. Sebelum anak memasuki prosesi khitan, anak perempuan terlebih dahulu menjalani prosesi pemberian tanda sunci (momonto) dengan dengan memberikan alawahu tulihi (kunyit yang dicampur kapur) di dahi, leher, di bawah tenggorokan, di bahu, dan pada lekukan tangan dan kaki sang anak perempuan oleh orang tua.
Makna tanda yang diberikan di dahi menunjukkan suatu pernyataan untuk tidak menyembah selain kepada Allah.
Tanda di leher bermakna agar anak tidak memasukkan makanan yang haram di dalam tubuhnya. Tanda di tenggorokan merupakan representasi bahwa setiap nafas manusia harus senantiasa diiringi dengan dzikir.
Tanda di bahu merupakan suatu bentuk kesiapan manusia untuk memikul tanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh Allah.
Sedangkan tanda yang diberikan pada lekukan tangan dan kaki bermakna agar senantiasa melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran dan menghindarkan dari perbuatan tercela.
Baca Juga:
- Tradisi Mitoni, Adat Tujuh Bulanan Masyarakat Jawa
- Eksistensi Kampung Adat Dukuh Garut di Tengah Gempuran Modernisasi
- Jamasan Pusaka Kabupaten Ngawi, Ritual Adat Jawa Penolak Bala
Pada prosesi lihu lo limu (pengkhitanan), anak perempuan dikhitan oleh bidan kampung (hulango); bagi masyarakat Gorontalo, hulango memiliki otoritas terkait adat kelahiran hingga kematian.
Prosesi khitan dilakukan di dalam ruangan yang gelap dengan mengambil sedikit selaput tipis yang ada di alat vital anak perempuan, dalam prosesi khitan digunakan tohetutu (lampu tradisional) sebagai penerang prosesi khitan dan saat prosesi khitan hulango menutupi dirinya dan sang anak dengan alumbu (kain putih).
Tohetutu bermakna sebagai penerang kehidupan, sedangkan kain putih sebagai lambang kesucian.
Secara garis besar prosesi khitan bermakna bahwasannya seorang perempuan perlu dibatasi hasratnya terhadap lawan jenis, karena pada dasarnya perempuan perlu dibatasi agar bisa mengontrol dirinya untuk menjadi perempuan yang sesuai dengan adat dan budaya Gorontalo, serta agama Islam.
Prosesi mo polihu lo limu (mandi lemon) dilakukan di suatu tempat sekitar rumah penyelenggara yang telah dihiasi oleh berbagai macam benda, seperti pisang gapi, batang tebu, tunas kelapa, mayang pinang, daun puring. Setiap benda-benda yang digunakan mengandung makna filosofis.
Pisang gapi dan tebu memiliki rasa yang manis sehingga anak yang diadat diharapkan menjadi anak yang manis di mata orang lain, tidak membeda-bedakan antar manusia, dan serta memiliki hati yang manis.
Tunas kelapa merepresentasikan bagaimana pohon kelapa dapat tumbuh secara kuat, oleh karena itu diharapkan sang anak menjadi manusia yang kuat, bermanfaat, dan memiliki rasa cinta yang tumbuh dan bertahan dengan kuat.
Mayang pinang pada dasarnya berbau harum, hal ini bermakna suatu harapan agar kelak menjadi manusia yang harum baik secara fisik maupun batin.
Sedangkan daun polohungo bermakna sebagai tolak balak, karena bagi masyarakat Gorontalo tanaman poluhungo ditanam di pekarangan rumah dan dipercaya dapat menghindarkan hal-hal yang buruk bagi penghuninya.
Kemudian sang anak didudukkan di pangkuan ibu di atas kukuran kelapa (dudungata) dan menghadap ke timur.
Kukuran kelapa mewakili salah satu perangkat dapur bagi masyarakat Gorontalo, anak perempuan diharapkan dapat memenuhi kodratnya yaitu mengerjakan tugas-tugas rumah tangga bagi keluarga.
Upacara mandi lemon diselenggarakan di pagi hari dan dengan menghadap ke arah Timur. Hal ini dikarenakan arah Timur merupakan arah terbitnya matahari yang merupakan sebuah harapan agar anak selalu dalam keadaan segar seperti halnya matahari terbit di pagi hari.
Prosesi berikutnya yaitu siraman menggunakan air harum yang sudah diramu. Air yang diharumkan tersebut yang terdiri atas kulit lemon yang dihaluskan, bunga melati, daun onumo (daun harum), umonu (ramuan yang sudah ditumbuk halus), tujuh macam daun polohungo (puring) yang dihaluskan lalu dan diiris-iris, dan tujuh buah limututu (lemon Sowanggi) yang sudah diiris-iris.
Sedangkan makna tujuh buah perian bambu kuning yaitu untuk mendapatkan kemuliaan, perlu mensucikan diri dari dosa lahir yang dilakukan oleh tujuh anggota badan, yaitu mulut, mata, telinga, hidung, kaki, tangan, dan kemaluan.
Makna prosesi siraman adalah mengharumkan dan membersihkan diri anak perempuan sebelum mencapai usia yang lebih dewasa. Prosesi dilanjutkan dengan tepuk pinang.
Masyarakat Gorontalo percaya apabila dalam prosesi tersebut pinang mudah pecah, maka sang anak akan mudah dalam menempuh hidupnya, sedangkan apaila tidak mudah pecah, maka sang anak dipercaya akan banyak menghadapi rintangan dalam hidupnya.
Selanjutnya prosesi pecah telur, penggunaan telur merupakan suatu harapan agar anak hatinya bulat seperti telur. Dalam prosesi pecah telur, apabila dalam prosesi kuning telur pecah, dipercaya maka masa depan sang anak buruk dan tidak dapat menjaga kehormatannya karena tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, apabila tidak pecah maka kelak masa depan sang anak akan baik dan dapat menjaga kehormatannya.
Prosesi yang terakhir adalah mopohuta’a to pinggae (injak piring). Dalam prosesi ini terdapat tujuh buah piring yang telah diisi berbagai macam benda, yaitu segeggam tanah dan tanaman rumput, biji jagung, padi, uang koin, daun puring, bakohati, dan tangkai mayang pinang.
Piring pertama, berisi tanah dan tumbuhan rumput bermakna kehidupan di bumi yang dilambangkan dengan tanah, perlu memperkuat pendirian, keimanan, dan ketakwaan yang dilambangkan dengan tumbuhan rumput.
Piring kedua yang berisi jangung bermakna sang anak wajib mempertahankan kesucian dan kehormatan dirinya.
Piring ketiga berisi padi bermakna kerendahan hati yang dilambangkan dengan buah padi yang semakin berisi maka semakin menunduk.
Piring keempat berisi uang koin bermakna rejeki yang halal. Piring kelima berisi daun puring bermakna adat, yaitu menghindarkan diri dari perbuatan yang memalukan diri sendiri dan keluarga.
Piring keenam berisi bakohati bermakna penataan diri anak. Piring ketujuh berisi tangkai mayang pinang bermakna keharuman nama pribadi dan keluarga perlu dijaga.
Injak piring dilakukan dengan bantuan sang ibu sedangkan sang ayah memayungi perjalanan menginjak piring.
Prosesi injak tujuh piring memiliki makna bahwa sang anak harus berjuang untuk menghadapi berbagai macam bentuk jalan kehidupan, peran seorang ibu adalah membimbing anak sedangkan ayah melindungi.
Setelah injak piring, kemudian beras lima warna (pale yilulo) ditabur ke seluruh ruangan rumah dengan maksud agar tidak memperoleh gangguan dari makhluk halus, lima warna menggambarkan lima aliran yang ada dalam tubuh manusia.
Merah merupakan gambaran atas darah merah yang mengalir pada tubutuh manusia, putih simbolisasi atas darah putih, ungu merepresentasikan warna daging manusia, hijau simbol dari urat yang ada di dalam diri manusia, sedangkan warna kuning adalah simbol dari sumsum manusia.