Maharadi, Aktivis Antikorupsi Aceh. Foto: Dok. Mycity.
“Tidak ada negara miskin, yang ada negara salah urus.’’
-Peter F. Drucker, 1966
Banyaknya negara yang gagal atau mengalami keterpurukan ekonomi meskipun dilimpahi sumber daya alam pada dasarnya disebabkan oleh kegagalan pemerintah bersangkutan dalam membuka ruang ekonomi dan politik yang inklusif.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari sebua buku berjudul “Why Nations Fail ‘’ : karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson
Thesis ini menjadi jawaban atas semua tuduhan mengenai kondisi geografi, kebudayaan dan kebodohan diyakini menjadi indikator kesenjangan dan kekamkuran.
Padahal kemakmuran suatu daerah di satu pihak dan kemiskinan yang dialami di pihak lainnya ditentukan oleh faktor politik dan ekonomi dari pada faktor geografis, kebudayaan, serta kekayaan dan sumber daya alam yang dimilikinya.
Aceh merupakan daerah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah, baik di dalam perut bumi maupun di permukaan, dari bidang pertambangan, Aceh adalah penghasil perak, gas alam, minyak bumi, emas, dan batu bara.
Aceh juga punya Lapangan Arun yang telah berproduksi sejak tahun 1970-an untuk memenuhi kebutuhan pabrik Pupuk Iskandar Muda, pembangkit listrik, serta ekspor LNG ke Jepang hingga Korea.
Sayangnya kelimpahan sumber daya yang dimiliki Aceh tak begitu saja menjadikannya kaya raya, kegagalan pemerintah daerah dalam pengelolaan justru menjadikannya daerah termiskin.
Meningkatnya angka kemiskinan Aceh tahun 2022 terjadi karena adanya kesalahan manajemen anggaran Otsus yang terjadi sejak lama, serta kegagalan pemerintah bersangkutan dalam membuka ruang ekonomi dan politik yang inklusif.
Data BPS menunjukan persentase penduduk miskin di Aceh berbandi lurus dengan perencanaan dan manajemen anggaran yang buruk. Padahal, dana APBA cukup besar ditambah dana otonomi khusus, tetapi belum bisa meningkatkan kesejahteraan.
Itu sebabnya Aceh terus di dapuk menjadi daerah termiskin di Sumatera, meskipun anggaran pembangunan Aceh nomor 5 terbesar di Indonesia
Tercatat Daerah Istimewa Aceh sudah menjadi daerah termiskin dengan daerah lain di tanah Sumatera sejak 2002.
Pada 2002, jumlah penduduk miskin di Aceh berjumlah 1,19 juta jiwa atau 29,83%, tertinggi dibandingkan daerah lain seperti Sumatera Selatan yang saat itu jumlah penduduknya secara persentase 22,32%.
Kemudian naik lagi menjadi 15,43% atau sebanyak 833,91 ribu orang pada September 2022 seperti yang dilaporkan oleh BPS belum lama ini. Jumlah itu bertambah 24.000 orang dibandingkan dengan Maret 2021 yakni 814,91 ribu orang.
Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk miskin di Aceh tidak menunjukkan angka penurunan. Sehingga tidak menggeserkan Aceh sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Sumatera.
Meskipun dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2008 – 2022 Rp sebesar Rp 95 triliun juga tidak menunjukan angka penurunan kemiskinan secara signifikan.
Sementara hingga 2027 Aceh diprediksi akan menerima total dana otsus sebesar Rp 163 triliun.
Namun, kucuran dana sebesar itu pun tak memuat Aceh berbenah, justru ketergantungan dana Otsus Aceh hanya jadi merchandise Provinsi paling miskin tiap tahunnya.
Bukan tanpa sebab, seperti kurangnya transparasi, peraturan daerah yang sering berubah-ubah, serta ketergantungan tinggi Aceh terhadap dana otsus sebagai sumber pendapatan daerah.
Dana otsus memang tidak direkomendasikan untuk dicabut ataupun tidak diperpanjang sehabis 2027. Namun peningkatan efektivitas pengelolaan dana otsus menjadi lebih penting untuk di awasi.
KPK mencatat, Aceh masuk ke dalam enam provinsi dengan kasus korupsi paling banyak di Indonesia. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut dana otsus Aceh serat akan praktik korupsi.
Irwandi adalah contoh kasus menerima suap dan gratifikasi Rp 9,7 miliar terkait proyek yang akan menggunaan dana otsus.
Selain itu, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) juga cenderung timpang. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencatat 70% anggaran di Aceh dihabiskan hanya untuk pegawai, seperti gaji tunjangan dan belanja barang dan jasa dan hanya sebesar 20% sisanya untuk rakyat.
Artinya, hanya 20 – 25 persen belanja modal dari total anggaran untuk pemerataan ekonomi di 23 kabupaten/ kota di Aceh, karena yang menikmati anggaran pembangunan hanya segelintir masyarakat, termasuk 60 persen lebih uang Aceh berhenti di tingkat pejabat elite.
Di sisi lain, potensi pemerintah daerah untuk mendatangkan PAD juga relatif kecil. Belum ada terobosan kreatif, justru cenderung eksklusif dan penuh kegagalan.
–Penulis merupakan aktivis Antikorupsi Aceh.