mobilitas warga kota
Depok tidak memiliki sumberdaya alam mineral, akan tetapi posisinya sangat strategis, berbatasan langsung dengan Jakarta menjadikan Depok dimasukkan dalam rencana pengembangan Jabo(de)tabek.
Ketika Depok dirancang menjadi satelitnya Jakarta, sebenarnya kota ini hanya dijadikan sebagai kota tempat tinggal (dormitory town) bagi penduduk Jakarta.
Sejalan dengan hal tersebut Cosmas Batubara mengatakan bahwa Depok memang direncanakan hanya untuk tempat beristirahat bagi penghuni Perumnas, sementara pekerjaan sehari-hari tetap berada di Jakarta.
Pada saat ditetapkan sebagai Kotamadya pada 1999, kota baru ini diharapkan dapat mencukupi kebutuhan warganya dari segala segi. Namun dalam kenyataannya, hingga saat ini Depok masih belum dapat melepaskan diri dari kota Jakarta.
Hal ini terjadi karena peran yang diberikan kepada kota ini adalah untuk menampung kelebihan penduduk Jakarta, yang mempunyai pekerjaan tetap di tempat asalnya. Dengan demikian, Depok baru pada sebatas menampung penduduk Jakarta, tanpa penyediaan fasilitas pekerjaan.
Para migran ini setiap hari pulang pergi dari Depok-Jakarta, dan sebaliknya. Ida Bagoes Mantra menyebut mobilitas penduduk tersebut sebagai penglaju.
Pemindahan kampus Universitas Indonesia ke Depok pada 1987 mengakibatkan penurunan jumlah penduduk yang bekerja di Jakarta.
Dengan kepindahan UI ke Depok para karyawan dan para pengajar yang telah membeli rumah di Perumnas Depok I, dengan sendirinya tidak lagi melakukan perjalanan ulang-alik ke Jakarta.
Sebagian besar penghuni Depok yang merupakan pindahan dari Jakarta adalah pegawai negeri yang bekerja di Jakarta. Perpindahan mereka ke Depok bukan disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan persoalan permukiman.
Para pendatang yang menempati kompleks Perumnas sebagian besar pindah ke Depok karena mencari tempat tinggal yang murah dalam arti sesuai dengan kemampuan, dan dekat dengan tempat kerja.
Dapat dikatakan bahwa Depok hanya menjadi tempat “titipan” menginap bagi mereka, karena mereka telah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta.
Hingga tahun 1982, belum tersedia lapangan kerja bagi pegawai negeri. Mengingat bahwa Depok adalah desa yang agraris, maka jumlah pekerjaan sebagai petani cukup besar.
Meskipun dalam kenyataannya pekerjaan sebagai buruh jumlahnya lebih besar daripada petani, hal ini diasumsikan bahwa sebahagian dari mereka, pada awalnya juga berprofesi sebagai petani, namun ketika terjadi pembangunan proyek Perumnas secara besar-besaran, lahan pertanian mereka terkena penggusuran.
Faktor geografis juga memicu lambannya kemandirian Depok, karena kedekatan jarak antara Depok dan Jakarta ditambah dengan peningkatan penyediaan prasarana dan sarana angkutan umum yang semakin membaik menyebabkan kemudahan aksesibilitas antara kedua kota itu.
Namun di lain pihak, fasilitas perkotaan yang ada di Depok kurang lengkap dan kurang menarik dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia di Jakarta menyebabkan warga memilih melakukan perjalanan pulang pergi setiap hari.
Hal yang sama berlaku juga pada para mahasiswa yang lebih memilih tinggal di Jakarta dari pada harus tinggal di kamar kos.
Ketika Depok pada 1981 peran dan statusnya berubah menjadi Kota Administrasi, maka sejumlah fasilitas perkotaan juga mulai ditata kembali.
menurut Kompas edisi 25 Mei 1987, kehadiran UI secara tidak langsung juga berdampak pada peningkatan penyediaan fasilitas pekerjaan di bidang perdagangan (antara lain warung makan atau restoran), dan jasa kemasyarakatan.
Terbentuknya Kota administratif Depok pada 1981 juga memerlukan sejumlah jasa kemasyarakatan seperti PNS yang bekerja di dinas pemerintahan (Depok), dan Hankam /ABRI, perbankan dan jasa keuangan lain serta industri.
Baca Juga:
- Mengadu Nasib di Kota: Migrasi Orang-Orang Madura ke Surabaya
- Ini Alasan Depok Jadi Kota Paling Tak Toleran di Indonesia
- Margonda Depok dan Aneka Kisahnya
Jumlah pertambahan usaha di bidang perdagangan menunjukkan jumlah yang besar dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Namun kesempatan kerja yang ada pada bidang-bidang tersebut hanya sebatas pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas, atau di bawahnya.
Untuk rumah makan misalnya, tenaga kerja yang direkrut adalah sebatas untuk pelayan, demikian juga penginapan. Artinya kesempatan kerja yang ada, tidak terlalu mengandalkan ketrampilan khusus.
Sementara, bidang pekerjaan yang dibutuhkan oleh kebanyakan penduduk Depok adalah jasa di bidang pemerintahan dan perusahaan.
Dalam hal ini, Depok dikondisikan hanya sebatas sebagai tempat permukiman. Artinya, menurut pemerintah Jakarta, di Depok tidak perlu ada kegiatan industri besar.
Kenyataan ini didukung dengan adanya larangan dan pembatasan untuk industri besar dan menengah, yang dituangkan dalam Keppres No. 21 Tahun 1989.
Realisasi dari Keppres ini, nampak pada tidak adanya bantuan dari pemerintah untuk memajukan industri yang telah ada di Depok.
Menanggapi hal ini Badrul Kamal menyatakan bahwa di dalam pemerintahan Kota Depok, tidak
terdapat subdinas atau bagian industri yang mengkoordinasi industri-industri yang ada di Depok. Kondisi Depok yang serba terbatas menyebabkan penduduk memilih menjadi penglaju ke kota metropolitan Jakarta, untuk mencukupi kebutuhannya.
Ulang alik tidak hanya dilakukan oleh pengajar dan karyawan UI saja, tetapi juga dari kalangan pegawai negeri yang bekerja di kementrian atau BUMN.
Menurut catatan Boy Loen, kaum Belanda Depok juga banyak yang bekerja di dunia perbankan di Jakarta. Mereka dapat dikatakan termasuk dalam migran sirkuler Depok – Jakarta seperti yang dikatakan oleh Ida Bagus Mantra.
Perjalanan ulang-alik dari pegawai kementrian, atau Badan-badan usaha lebih disebabkan karena kepindahan mereka ke Depok tidak disertai dengan perpindahan tempat kerjanya.
Di Depok belum ada kantor wilayah dari kementrian atau badan-badan usaha tersebut, sehingga mereka tetap melakukan perjalanan pulang pergi dari Depok ke Jakarta.
Pemerintah Kota Depok juga telah berupaya untuk menyediakan lapangan kerja dan tempat usaha di Depok. Upaya yang dilakukan dengan tujuan sebagai daya tarik bagi para urban, dan mengurangi perjalanan ulang alik antara Depok – Jakarta.
Dengan demikian diharapkan ketergantungan pada kota induknya dapat dikurangi. Namun dalam kenyataannya hal tersebut belum dapat dicapai sepenuhnya.
Pengembangan ekonomi di kota Depok direncanakan dikembangkan sektor perdagangan dan jasa, juga di sektor industri, sementara sektor pertanian peranannya untuk menyerap tenaga kerja semakin berkurang.
Pengurangan lahan pertanian itu antara lain disebabkan adanya pembangunan perumahan secara besar-besaran dan fungsi-fungsi lain.
Pada beberapa daerah di kecamatan Beji yang terletak di sekitar kampus UI, banyak penduduk Depok yang mengubah fungsi lahannya dari pertanian menjadi tempat pondokan atau menjual lahannya kepada pengusaha/ penduduk Jakarta untuk dibangun pondokan atau usaha lain.