Dalam acara TM Share Vol. 21 Kamis, (2/7/2020) bersama Dicky Lopulalan, Margareta Astaman membagikan pengalamannya mengelola perusahaan ekspor buah. Perusahaan itu bernama Java Fresh di bawah nama PT Nusantara Segar Global yang didirikan sejak 2014.
Ide bisnis itu bermula ketika Margareta dan kawannya yang kuliah di Nanyang Technological University, Singapura. Mereka berusaha menciptakan reverse image tentang barang impor. Seolah apa yang datang dari luar negeri dianggap lebih bagus daripada dalam negeri.
Buah, misalnya. Buah impor itu tampak cantik dan menawan. Warna dan bentuk buah seragam dan dibungkus plastik. Peletakkan di ruang pendingin. Tentunya, pengemasan yang bagus menjadi nilai tambah.
Sedangkan buah lokal mendapat perlakuan berbeda. Buah lokal tampak dekil, berdaun layu, tekstur penyok akibat dijamah banyak orang, dan nilai jualnya rendah. Kita biasa menyebutnya buah curah.
Keduanya sama-sama buah dan berasal dari alam. Dengan perlakuan istimewa, buah lokal pun bisa mendunia.
Realitanya, buah lokal alias buah tropis dianggap eksotis oleh orang asing. Buah tropis dianggap buah mahal karena berasal dari negeri jauh dengan biaya transportasi yang tak sedikit.
Mengapa tidak berpikir sebaliknya? Memproduksi komoditas premium untuk mengisi pasar luar negeri. Bisa jadi orang lain pun berpikir demikian.
Belajar dari Nol Bersama Petani
Margareta Astaman benar. Ada permintaan buah lokal yang berkualitas baik di luar negeri. Komoditas ekspor pertama Margareta jatuh pada buah manggis.
Margie, sapaan akrab wanita lulusan komunikasi NTU, nekad mencari sentra manggis di Indonesia. Ia yang tak tahu bagaimana membersihkan buah dan tak bisa membedakan buah manggis bagus atau busuk, tak ragu belajar langsung dari petani.
Namun, mengekspor komoditas buah segar tak mudah. Bagaimana caranya buah dari Indonesia harus tetap segar meski harus melalui perjalanan jauh ke ujung benua. Terlebih latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja sangat berbeda.
“Pendidikan saya bukan pertanian. Saya gak ngerti tentang buah dan trading. Kami belajar dari nol,” cerita Margie, sapaan akrab mantan jurnalis MSN.
“Kami terbantu oleh petani karena selama ini tau kualitas. Hanya saja gak pernah dibukukan dan dijadikan teori. Kami belajar dari mereka dan jadi SOP kami,” lanjut Margie.
Audience Tulisan = Pasar Buah
Berangkat dari pengalaman menulis, Margie belajar memasarkan buah. Ia berpijak pada pengalamannya menulis. Tulisan harus mempunyai audience yang dalam ilmu jualan artinya pasar.
“Aku bagian supply. Temanku cari produk. Tulisan yang bagus itu harus tau adience. Siapa audience-nya? Percuma nulis bagus kalau gak ngena di hati audience. Siapa sih yang akan makan buah kita?” kata Margie.
Setelah blusukan ke pasar, forum buah-buahan, Margie dan kawannya mengamati ceruk pasar, kebutuhan pelanggan, dan tantangan ekspor buah.
“Kita menemukan bahwa pasar buah eksotis itu sudah ada. Buah itu datang bukan dari Indonesia, melainkan Thailand dan Vietnam,” ungkap Margie.
Mereka mencari apa yang kurang dari penawaran. Apakah semua permintaan sudah terpenuhi dari negara lain? Di samping buah Indonesia memiliki kelebihan tersendiri, iklim Indonesia mendukung untuk memproduksi buah sepanjang tahun.
Tak seperti Eropa yang bermusim empat. Di musim dingin, Eropa tidak memanen buah. Inilah keuntungan iklim di Indonesia. Pastinya ceruk pasar yang menguntungkan.
“Ada buah tertentu seperti manggis yang musiman. Manggis dipanen 2-4 bulan selama setahun. Sementara Thailand memanen manggis pada bulan Juni, Juli, dan Agustus,” Margie mengungkapkan.
“Pasar buah Eropa hanya mencari buah ketika musim dingin di bulan November, Desember, Januari. Musimnya Natal dan tahun baru mereka butuh hantaran. Sesuatu yang baru. Orang ingin punya produk yang baru dan unik,” imbuh Margie.
Meski manggis adalah buah musiman, iklim Indonesia tetap mendukung untuk melakukan ekspor buah sepanjang tahun.
“Indonesia memilliki musim mikro. Musimnya agak geser sedikit dari satu daerah ke daerah lain. Jika mau mengikuti musim, kita bisa ekspor manggis sepanjang tahun. Dari Aceh, Sumbar, Bengkulu, Jambi, dan sebagainya,” Margie menjelaskan.
Sertifikasi Internasional dan Standar Ekspor Pasar Buah Internasional
Margie dan kawannya mencari importir buah segar. Selama ini mereka mengimpor dari Thailand. Mereka menawarkan sesuatu dari Indonesia sepanjang tahun terutama di momen spesial. Natal dan tahun baru, misalnya.
“Karena menjawab permasalahan mereka, mereka mau mencoba. Saat dicoba kami punya pasar,” jelas Margie.
Buah eksotik Java Fresh dipasarkan melalui importir di Eropa. Mereka menyalurkan ke supermarket dan toko ritel kecil karena hanya mereka yang punya izin impor.
Untuk bisa masuk pasar Eropa, buah harus memenuhi syarat tertentu, seperti standar residu pestisida yang disebut MRL dan sertifikasi. Eropa termasuk ketat untuk urusan itu.
“Ini adalah keunggulan yang baik dari produk Indonesia. Indonesia kan subur banget tanahnya. Gak perlu pestisida. Tanpa dirawat, pohon bisa berbuah,” terang Margie.
“Sekarang kita lebih sadar itu. Dengan begini kita lebih hati-hati juga. Misal, jeruk lebih rentan hama dan biasanya menggunakan obat. Kita pastikan buah itu tidak melebihi kadar pestisida yang dilarang di Eropa,” terang Margie.
Sertifikasi adalah harga mati yang harus dipenuhi perusahaan. Ini menjadi kendala bagi Margie ketika pertama melakukan ekspor. Petani Indonesia masih awam dengan sertifikasi internasional dan standar ekspor. Belum lagi, target pasar yang memandang miring produk Indonesia.
“Indonesia tidak dikenal sebagai produsen buah premium di dunia. Ketika mereka mendengar Indonesia, mereka merasa buahnya pasti lebih jelek daripada buah Thailand,” ujar Margie.
“Kenapa dibilang lebih jelek? Bukan buahnya yang jelek, melainkan standar yang belum diterapkan secara disiplin,” imbuh Margie.
Lebih jauh, Margie menerangkan ada standar ukuran untuk buah. Ada standar tertentu untuk ekspor buah. Di Indonesia, standardisasi buah belum diterapkan secara disiplin.
“Ukuran L berdiameter 5 cm. Kalau musim buahnya kecil, ukuran L adalah 2 cm. Akhirnya yg terbentuk adalah buah Indonesia kecil-kecil,” tandas Margie.
“Kami infokan bahwa kami punya satu standar. Ketika buah ukuran L tidak ada, kami tidak akan mengirim buah ukuran L, adanya ukuran M.”
Belum lagi harga sertifikasi internasional yang mahal. Bukan masalah besar jika uang bisa menjadi solusi. Ada hal yang tak bisa diselesaikan dengan uang dan ini adalah tantangan bagi Margie dan petani mitra. Ini memerlukan kerja sama dan disiplin antara kedua belah pihak.
“Yang paling berat dari sertifikasi adalah administrasi. Ketika melakukan sertifikasi, salah satu prosesnya adalah melakukan perawatan sesuai SOP. Untuk membuktikan perawatan sesuai SOP, petani harus ke kebun setiap hari dan membuat catatan harian. Itu salah satu tantangan,” kata Margie.
“Ketika ada sertifikasi internasional dan semakin banyak permintaan, artinya kita punya standar yang diakui dan sesuai dengan yang mereka harapkan.”
Selain butuh kerja sama dan disiplin, pengawasan harus dilakukan agar konsisten dan memenuhi standar SOP. Terlebih, kebun tak hanya di satu tempat. Ada banyak petani di beberapa wilayah Indonesia yang menjadi mitra Java Fresh.
Untuk itu, diperlukan sosialisasi dan pendidikan agar petani paham pentingnya sertifikasi internasional. Jika petani tahu keuntungan sertifikasi bagi mereka, memenuhi SOP tak akan berat.
“Salah satu tujuan sertifkasi adalah traceability. Ketika buah sampai tujuan, buah tetap punya identitas kebun masing-masing. Ketika produk itu baik, kebun dan petani akan punya nama baik. Ketika produk itu jelek, nama petani buruk. Bisa-bisa gak boleh ekspor karena kode traceability terlihat. Dari situ kita jelaskan sistem tanggung jawab. Tujuannya agar kebun yang bagus mempunyai nilai yang berbeda dan punya pengakuan berbeda di negara tujuan.”
Indonesia memiliki peraturan bahwa kebun buah harus melalui proses registrasi kebun. Ini diatur oleh Kementan di kabupaten dan provinsi masing-masing.
Untuk mendapat registrasi kebun, kebun harus memiliki tahap seleksi dan dicatat di database Kementan. Informasi registrasi mulai dari pemilik kebun dan luas kebun tercatat di surat registrasi.
“Kadang penyuluhan kurang jelas, informasi tak tersampaikan. Petani gak ngerti kenapa harus punya registrasi,” tandas Margie.
Melalui sosialisasi, petani paham betapa pentingnya registrasi. Di setiap kemasan Fresh Java, ada nomor registrasi yang bisa ditelusuri. Dengan begini, rekam jejak kebun melekat pada petani itu.
“Ada orang di Prancis sana makan salaknya enak. Bisa ditelusui sampai petaninya,” kata Margie.
“Jadi kerja keras petani tak sia-sia. Ini yang kami jelaskan ketika menerapkan sistem registrasi,” lanjut Margie.
Margie memperingatkan bahaya membeli surat registrasi. Ketika buah dari kebun yang tak terdaftar sampai ke pelanggan, ini bisa membuat kebun baik tak bisa mengekspor.
“Nilai registrasi yang dijual tak ada artinya dibanding kerugian,” tegasnya.
Buah Ekspor, Harga Premium
Ada perlakuan spesial untuk buah ekspor. Registrasi, pembersihan, hingga pengemasan menelan biaya, waktu, dan tenaga. Tentu harus ada timbal balik untuk semua ini.
Buah ekspor berkualitas baik pasti dijual dengan harga premium. Kata orang Jawa, “Ono rego, ono rupo.” Melalui kemitraan ini, buah petani dihargai dengan pantas.
“Untuk buah ekspor, kami menyebutnya standar super dan barang sisa. Ketika petani menjual dengan kualitas super, ia akan mendapat keuntungan lebih dibanding dia jual semua terlepas kualitas seperti apa.”
“Kalau kita menjamin buah bakal dibeli oleh kami, itu tidak mengembangkan seseorang. Akhirnya petani tak bisa membedakan yang baik dan jelek. Kami berusaha hasil akhir ke pembeli dilihat petani.”
Pada akhirnya, petani terpacu untuk mengembangkan kebunnya. Petani juga yang menentukan harga sesuai musim di negara tujuan. Ketika musim panas dan negara tujuan memanen buah sendiri, permintaan buah rendah dan harga pengiriman naik.
“Salah satu kelebihan ketika produk masuk pasar ekspor adalah harga stabil. Tidak selalu ekspor lebih tinggi dari domestik. Ada masanya harga domestik lebih tinggi. Setidaknya harga ekspor bisa mengatur panen dan harga jadi lebih stabil.”
Kepercayaan pelanggan dan keuntungan penjualan adalah hal utama dalam berbisnis. Ada hal non komersil yang dicapai petani: Kepuasan dan kebanggaan.
Inilah nilai yang ditawarkan Margareta Astaman pada mitra petani.
Petani melihat langsung mulai dari packaging, melihat cantiknya buah dalam packaging, lalu dikirim ke negara tujuan. Petani melihat langsung kepuasan pelanggan dengan buah dan menandai di Instagram @javafresh.
“Buah yang dihasilkan petani itu keren. Punya martabat. Pekerjaan petani itu keren. Ada nilai tambah ketika saya bisa mengatakan itu buah saya. Saya yang packing. Saya yang bersihkan,” Margie memungkasi. (Al-Hanaan)