Kampung Kerbau di Ngawi
Kampung Kebo, salah satu kampung di kabupaten Ngawi yang cukup unik. Kampung Kebo merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari kurang lebih lima ratusan yang dipelihara 72 kepala keluarga.
Kerbau menjadi salah satu alternatif meningkatkan kemandirian ekonomi desa. Hal ini disampaikan oleh Kepala Desa Banyubiru, Kundari. Jenis Kerbau Gumbrekan Maheso ini memiliki nilai tinggi.
Sedikitnya ada 900-an ekor kerbau. Hewan ternak mirip sapi ini, oleh warga setempat dijuluki Rojo Koyo. Istilah Jawa yang merujuk pada kebudayaan. Rojo yang berarti raja, dan Koyo yang berarti kekayaan.
Baca Juga:
- Begini Upaya Pemerintah Atasi PMK pada Hewan Ternak Jelang Idul Adha
- 5 Tradisi Unik Idul Adha di Indonesia
- 5 Cara Menenangkan Hati yang Gelisah Menurut Islam
Kerbau salah satu dari sekian jenis hewan yang masuk daftar Rojo Koyo masyarakat Jawa. Yakni hewan ternak yang memberikan nilai tambah selain dari hasil pertanian. Selain kerbau, ada sapi dan kambing yang jadi daftar Rojo Koyo masyarakat Jawa.
Di Dusun Bulak Pepe, ratusan kerbau hidup ditengah masyarakat. Para warga, umum memiliki sebuah rumah khusus yang dijadikan kandang kerbau. Rata-rata, satu keluarga memiliki 2-5 ekor kerbau. Tapi ada juga yang memiliki puluhan ekor.
Memelihara kerbau sudah menjadi tradisi masyarakat Bulak Pepe. Di tengah perkembangan zaman, warga setempat tetap gigih menjaga tradisi leluhur beternak kerbau, alih-alih beralih memelihara sapi.
Sisi menarik lainya, setiap kelahiran Gudel atau anak kerbau, masyarakat setempat memberikan penghormatan dengan menggelar selamatan. Sebagai tanda syukur bertambahnya hewan ternak yang dimiliki. Tradisi itu masih dijaga hingga sekarang.
Festival Gumbrekan Mahesa
Kampung Kerbau di Ngawi
Seperti yang dilakukan di dusun Bulak Pepe desa Banyubiru Kecamatan Widodaren, dengan, tradisi Gumbrekan Mahesa yang awalnya hanya sebagai tradisi rutin dilakukan setiap pasca panen oleh penduduk setempat, sebagai wujud syukur kepada yang kuasa, kini dikemas dengan nuansa berbeda tanpa menghilangkan makna yang sesungguhnya.
Festival itu digelar satu tahun sekali, yang pada intinya dilakukan untuk memperingati hari kelahiran gudel si anak kerbau.
Setiap festival Gumbrekan Mahesa, acara berlangsung meriah. Menjadi tontonan banyak masa. Tidak hanya turis lokal, tapi juga menarik penonton dari luar daerah. Tujuannya tidak lain untuk menyaksikan ratusan kerbau diarak keluar kampung. Berduyun-duyun memenuhi tanah lapang dusun setempat.
Terlepas dari festival Gumbrekan Mahesa, kerbau di Dusun Bulak Pepe juga termasuk hewan yang menjaga kebersihan. Di kala pagi, mamalia ini secara serempak akan keluar kandang. Digiring oleh penggembala untuk berendam di aliran sungai dusun setempat.
Puas berendam, oleh penggembala, kerbau akan dibawa ke hutan. Merumput seharian hingga tengah hari. Lalu, para kerbau akan kembali pulang ke kandang. Istirahat sejenak hingga matahari condong di barat.
Jelang sore hari, rombongan kerbau kembali lagi ke hutan. Sebelumnya, kerbau-kerbau juga akan berendam kembali. Setelahnya, baru diarak ke hutan untuk merumput hingga senja tiba.
Aktivitas sehari-hari kerbau di Dusun Bulak Pepe ini menjadi tontonan menarik. Tidak jarang, ada serombongan orang yang sengaja datang berkunjung demi melihat kerbau dan beragam aktivitasnya.
Dusun Bulak Pepe telah bertransformasi menjadi daya tarik tersendiri. Dengan potensi hewani, dan suasana asri pedesaan, tak jarang menggugah orang-orang untuk bertamasya ria. Apalagi, tidak banyak daerah yang memiliki koloni kerbau. Sementara di Kampung Kerbau Ngawi, ada ratusan ekor.