ilustrasi bekerja
“Kerja keras akan selalu terbayar, kesuksesan harus dibayar dengan rasa sakit, atau kamu baru bisa bersenang-senang ketika kamu sukses.” Seberapa sering kamu mendengar kata-kata usang yang tidak berguna solah-olah menjadi dorongan ketika kamu merasa penat?
Rata-rata seseorang bahkan mendengar itu setidaknya dua kali di hidup mereka, tidak peduli terucap dari teman atau lingkungan keluarga.
Kalimat ini diyakini benar dan dapat memotivasi milenial atau gen Z untuk terus-terusan bekerja menggapai mimpi mereka.
Motivasi inilah yang juga menghasilkan budaya hustle culture di kalangan anak muda. Sayangnya terlalu banyak mendengarkan motivasi baik justru sebenarnya buruk?
Riset dari Taylor’s College Malaysia yang dimuat dalam website mereka menunjukkan banyak salah kaprah terkait hustle culture.
Dalam standar modern, hustle culture dapat didefinisikan sebagai keadaan terlalu banyak bekerja dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Tidak ada satu hari pun dalam hidup di mana kamu tidak mengerahkan kemampuan terbaik untuk bekerja dan berujung tidak memiliki kehidupan pribadi.
Menurut kamus, kata hustle memang didefinisikan sebagai tindakan yang penuh energi. Namun, apakah hustle menjadi berbahaya sebagai gaya hidup?
Selama bertahun-tahun, terlalu banyak bekerja dianggap sebagai modernitas sampai kini dianggap sebagai hustle culture seperti apa yang tertulis dalam buku-buku yang dijual di toko, sosial media, atau pengusaha terkenal.
Baca Juga:
- Pekerja Rentan Mengalami Kecemasan, Begini Tips Mengatasinya
- Waspada Post Holiday Syndrome, Penyakit Parah Usai Libur Lebaran
- Crab Mentality, Sikap Dengki Terhadap Kesuksesan Orang Lain
Elon Musk yang juga pendiri Tesla berkicau di Twitter, bahwa tidak ada orang yang bisa mengubah dunia hanya dengan bekerja 40 jam per minggu. Kamu harus bekerja 80 jam secara berkelajutan atau bahkan 100 jam.
Banyak anak muda menjadikan berbagai buku, media sosial, dan pengusaha sebagai inspirasi ketika mengejar kesuksesan mereka sendiri.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang secara ambisius bekerja untuk mecapai goals, tidak mengherankan jika orang-orang secara tidak sadar menjadi korban dari hustle culture.
Bagaimana hustle culture bisa menjadi budaya berbahaya
Setelah gagasan tentang mencapai kesuksesan menjadi prominen dalam pola pikir masyarakat, lama-kelamaan kamu akan bertanya apa yang salah dengan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan.
Pertama, bekerja keras tidak sama dengan sukses. Tidak peduli seberapa keras kamu bekerja, ada beragam faktor yang memengaruhi kesuksesan termasuk lingkungan kerja.
Selain itu, ada faktor-faktor seperti kesempatan, waktu, dan faktor-faktor lain yang tidak bisa kamu kendalikan.
Bekerja keras memang baik, namun bekerja dengan terburu-buru justru menjadi sesuatu yang buruk. Dari sini berhentilah untuk bekerja keras yang mengarah pada mengerjakan semua hal, yang lebih baik justru fokuslah pada tujuan personal dan hal-hal yang mengarah untuk mencapainya.
Terlihat sibuk juga dipresepsikan sebagai hal yang baik. Namun, jika kamu selalu menjadi orang yang hanya punya sedikit waktu beristirahat dan menganggapnya sebagai buang-buang waktu, itu adalah kebiasaan yang tidak sehat.
Namun, jika dilihat kembali, apakah beberapa hal yang dilakukan benar-benar berkontribusi pada produktivitas atau hanya akan membuatmu terlihat sibuk.
Budaya sibuk mendorong masyarakat untuk menciptakan ketidakseimbangan dalam hidup, di mana pekerjaan menjadi hidup dan hal-hal lain yang dilakukan mulai tidak memiliki tujuan.